Judul : penjahat kecil
Oleh. : M. Khoirul Anam
Dentang alarm kali ini terasa amat memuakkan bagi roi, ia masih belum
ingin beranjak dari tidurnya meski jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih
seperempat, ini kali ke tiga alarm itu berbunyi dan kali ke tiga pula di
diamkan oleh roi, setidaknya ia ingin menutup matanya sebentar lagi,
sebelum ia kembali ke jalanan bernyanyi bersama gitarnya demi mendapat
rupiah.
Liana (adik ROI) sudah berangkat ke sekolah setengah jam lalu, jadi tak ada
alasan lagi bagi roi untuk terbangun di jam - jam segini, termasuk untuk
sekolah, sudah satu minggu ini roi tak kembali kesekolah, bahkan untuk
lewat di depannya pun ia enggan, itu akan sangat mengingatkan ia akan semua
kenangan indah bersama teman sekelasnya, terlebih mengingatkannya pada
hardi, kakak yang selalu mengingatkannya akan penting nya sekolah, wajibnya
pendidikan, dan juga betapa sulitnya kehidupan. saat itu hardi masih
berusia 10 tahun bekerja membanting tulang tanpa lelah demi menyekolahkan
dia dan adiknya, sepeninggal ayahnya hardi lah yang mati - matian
menyekolahkan roi dan liana, bagi hardi sekolah adalah suatu yang harus di
dapatkan oleh adiknya, tidak perduli meskipun dirinya sendiri harus
berhenti sekolah.
Lamat - lamat roi terbangun dari tidurnya, matanya tertuju pada sebuah
kalender kecil yang tertata rapi di meja dekat tempat tidurnya, 17 desember
1999, tepat satu bulan kakaknya hardi tidak pulang tanpa kabar berita,
kadang roi bingung harus menjawab rentetan pertanyaan liana seperti "kak,
kapan kak hardi pulang ?" Atau "kak apakah kak hardi tidak rindu pada kita
? Apa kakak tidak sayang pada kita ?" Yang kesemua pertanyaan tersebut di
jawab oleh roi dengan anggukan ringan sembari berkata "sabar ya dik, kakak
sangat menyayangi kita !" tak jarang juga roi menyambung jawabannya dengan
cerita saat kebersamaan mereka bersama hardi.
"dimana kamu Kak ? Pulanglah, kami rindu sekali !!" gunam roi dalam hatinya.
Di saat yang sama, Tak kekiri pun kekanan, pikiran hardi kosong melompong
tak berisi. Dia sudah melamun sejak senja hingga petang tanpa henti. Buah
lamunannya tak jua ingin berlabu dan menemukan sandaran, entah secuilkah
atau setitik saja solusi mungkin dapat membumbung semangat hardi yang
lunglai bagai tanaman tak ternutrisi.
"Sampai kapan semua ini akan menderaku ?" Gunam hardi seolah menyalahkan
dunia.
Nyaris semua orang usai di persalahkan hardi, mulai dari teman, sahabat,
termasuk orang tak kenal yang menabraknya tak sengaja di pasar. Yang belum
ia cacimaki hanyalah batu serta ombak tempat ia berpijak sekarang, di tepi
pantai nan sunyi ditemani debur ombak dan di hibur nyanyian burung pantai
yang tak henti berlagu meski sinar sang jingga tertelan habis oleh rotasi
bumi.
Hilang sudah semua yang dimiliki hardi, mulai dari teman, sahabat, hingga
yang terburuk adalah dua adik yang sangat ia sayangi melebihi dirinya
sendiri, setelah sepuluh tahun lalu ia kehilangan sang ayah, tepatnya saat
ia masih berusia sepuluh tahun, hanya pada kedua adiknya lah ia berbagi
cinta dan cerita.
Kini hardi bertolak jauh di sebrang pulau tanpa tahu kabar kedua adik yang
dicintainya, bertolak menghindari letupan - letupan peluru polisi yang
menghantam segala arah demi memukul mundur dan membekuk hardi.
Di sela lamunannya Mendadak suara lantang menerkam hardi.
"Jangan bergerak !!! Kamu sudah terkepung !!!"
Tanpa pikir panjang hardi menerjang kerumunan polisi dengan menembakkan
senapan ke segala arah, DOORR !!! Letupan pistol polisi mengenai jantung
hardi.
Tumbang lah herdi sang bandar narkoba yang selama satu tahun ini di cari
polisi, meninggalkan dua adiknya yang masih muda belia di tengah kerasnya
ibu kota.
"Sekarang giliranmu Roi, ku titipkan adik kita kepadamu, maafkan kakak !!!"
Perlahan mata hardi terpejam dengan tangan memegang dada yang di basahi
merah darah.
Oleh. : M. Khoirul Anam
Dentang alarm kali ini terasa amat memuakkan bagi roi, ia masih belum
ingin beranjak dari tidurnya meski jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih
seperempat, ini kali ke tiga alarm itu berbunyi dan kali ke tiga pula di
diamkan oleh roi, setidaknya ia ingin menutup matanya sebentar lagi,
sebelum ia kembali ke jalanan bernyanyi bersama gitarnya demi mendapat
rupiah.
Liana (adik ROI) sudah berangkat ke sekolah setengah jam lalu, jadi tak ada
alasan lagi bagi roi untuk terbangun di jam - jam segini, termasuk untuk
sekolah, sudah satu minggu ini roi tak kembali kesekolah, bahkan untuk
lewat di depannya pun ia enggan, itu akan sangat mengingatkan ia akan semua
kenangan indah bersama teman sekelasnya, terlebih mengingatkannya pada
hardi, kakak yang selalu mengingatkannya akan penting nya sekolah, wajibnya
pendidikan, dan juga betapa sulitnya kehidupan. saat itu hardi masih
berusia 10 tahun bekerja membanting tulang tanpa lelah demi menyekolahkan
dia dan adiknya, sepeninggal ayahnya hardi lah yang mati - matian
menyekolahkan roi dan liana, bagi hardi sekolah adalah suatu yang harus di
dapatkan oleh adiknya, tidak perduli meskipun dirinya sendiri harus
berhenti sekolah.
Lamat - lamat roi terbangun dari tidurnya, matanya tertuju pada sebuah
kalender kecil yang tertata rapi di meja dekat tempat tidurnya, 17 desember
1999, tepat satu bulan kakaknya hardi tidak pulang tanpa kabar berita,
kadang roi bingung harus menjawab rentetan pertanyaan liana seperti "kak,
kapan kak hardi pulang ?" Atau "kak apakah kak hardi tidak rindu pada kita
? Apa kakak tidak sayang pada kita ?" Yang kesemua pertanyaan tersebut di
jawab oleh roi dengan anggukan ringan sembari berkata "sabar ya dik, kakak
sangat menyayangi kita !" tak jarang juga roi menyambung jawabannya dengan
cerita saat kebersamaan mereka bersama hardi.
"dimana kamu Kak ? Pulanglah, kami rindu sekali !!" gunam roi dalam hatinya.
Di saat yang sama, Tak kekiri pun kekanan, pikiran hardi kosong melompong
tak berisi. Dia sudah melamun sejak senja hingga petang tanpa henti. Buah
lamunannya tak jua ingin berlabu dan menemukan sandaran, entah secuilkah
atau setitik saja solusi mungkin dapat membumbung semangat hardi yang
lunglai bagai tanaman tak ternutrisi.
"Sampai kapan semua ini akan menderaku ?" Gunam hardi seolah menyalahkan
dunia.
Nyaris semua orang usai di persalahkan hardi, mulai dari teman, sahabat,
termasuk orang tak kenal yang menabraknya tak sengaja di pasar. Yang belum
ia cacimaki hanyalah batu serta ombak tempat ia berpijak sekarang, di tepi
pantai nan sunyi ditemani debur ombak dan di hibur nyanyian burung pantai
yang tak henti berlagu meski sinar sang jingga tertelan habis oleh rotasi
bumi.
Hilang sudah semua yang dimiliki hardi, mulai dari teman, sahabat, hingga
yang terburuk adalah dua adik yang sangat ia sayangi melebihi dirinya
sendiri, setelah sepuluh tahun lalu ia kehilangan sang ayah, tepatnya saat
ia masih berusia sepuluh tahun, hanya pada kedua adiknya lah ia berbagi
cinta dan cerita.
Kini hardi bertolak jauh di sebrang pulau tanpa tahu kabar kedua adik yang
dicintainya, bertolak menghindari letupan - letupan peluru polisi yang
menghantam segala arah demi memukul mundur dan membekuk hardi.
Di sela lamunannya Mendadak suara lantang menerkam hardi.
"Jangan bergerak !!! Kamu sudah terkepung !!!"
Tanpa pikir panjang hardi menerjang kerumunan polisi dengan menembakkan
senapan ke segala arah, DOORR !!! Letupan pistol polisi mengenai jantung
hardi.
Tumbang lah herdi sang bandar narkoba yang selama satu tahun ini di cari
polisi, meninggalkan dua adiknya yang masih muda belia di tengah kerasnya
ibu kota.
"Sekarang giliranmu Roi, ku titipkan adik kita kepadamu, maafkan kakak !!!"
Perlahan mata hardi terpejam dengan tangan memegang dada yang di basahi
merah darah.
Komentar
Posting Komentar